Teknik Produksi Antibodi
1. Secara konvensional
Sejak lama telah dikenal teknik pembuatan antibodi secara konvensional yaitu dengan memasukan antigen ke tubuh organisme (misalnya tikus), maka akan merangsang pembentukan antibodi yang sering dikenal dengan istilah vaksinasi (immunisasi). Antibodi yang dihasilkan secara konvesional mempunyai sifat poliklonal yakni mempunyai beberapa sifat yang disebabkan antigen (vaksin) yang digunakan belum dimurnikan, sehingga kurang spesifik untuk tujuan tertentu seperti riset dan terapi.
2. Secara modern (produksi MAb)Produksi molekul Ab merupakan tanggungjawab dari klone-klone sel limfosit B (sel plasma) yang masing-masing spesifik terhadap antigen. Menurut teori klonal,adanya interaksi antara antigen dengan klone limfosit B akan merangsang sel tersebut untuk berdiferensiasi dan berproliferasi sehingga diperoleh sel yang mempunyai ekspresi klonal untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi monoklonal merupakan gabungan penerapan teknik hibridoma dan kloning. Dengan berkembangnya teknologi dan pengetahuan tentang molekul Ig, maka kini dikenal teknik hibridoma untuk tujuan menghasilkan antibodi monoklonal dalam jumlah banyak dan tidak terbatas oleh waktu dengan cara kloning. Teknik hibridoma adalah suatu teknik dengan cara menggabungkan dua macam sel eukariot dengan tujuan mendapatkan sel hibrid yang memiliki kemampuan kedua sel induknya. Pada hakekatnya produksi antibodi monoklonal tetap mengikuti prinsip teori seleksi klonal (Artama, 1990: 165).
Prosedur Produksi MAB:
1. Antigen yang telah dimurnikan disuntikkan ke hewan percobaan mencit (mice) untuk mendapatkan sel limfosit B yang spesifik.
2. Limpa (spleen) dikeluarkan dari tikus setelah lebih dulu dimatikan dan
dikerjakaan secara aseptis.
3. Sel limfosit B sebagai penghasil Ab tersebut kemudian diisolasi dari limpa (spleen) dipisahkan dari eritrosit dan cairan limpa dengan cara sentrifus (gradient centrfuge).
4. Sel penghasil Ab tersebut kemudian diisolasi dan selanjutnya dikawinkan dengan sel myeloma (sel kanker) dalam media PEG (polyethilene glycol) atau dapat juga dengan virus Sendai.
5. Sel hibrid yang diperoleh kemudian diseleksi dalam medium HAT (hypoxanthine aminopterin thimidin), oleh karena tidak semua sel hibrid yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yakni sel limfosit B dengan sel myeloma, akan tetapi dapat terjadi hibrid antara sel limfosit B dengan sel limfosit B, atau sel myeloma dengan sel myeloma.
6. Sel hibrid yang terseleksi kemudian diuji untuk mengetahui kemampuan menghasilkan Ab yang diharapkan, jika hasilnya pasti maka sel tersebut dikultur (cloning) kemudian dipropagasi pada kultur jaringan (bioreaktor) atau disuntikkan ke tikus (in vivo) untuk produksi MAb atau dapat pula dibekukan untuk koleksi.
7. Sel hibrid yang terseleksi kemudian diuji (assay) untuk mengetahui kemampuan menghasilkan Ab yang diharapkan denngan menggunakan kultur sel dan diuji antibodi.
8. Jika hasilnya pasti, maka sel tersebut kemudian dipropagasi dengan menggunakan kultur jaringan dalam skala besar (bioreaktor) untuk mendapatkan sel turunan yang sama persis dengan induknya (cloning), atau disuntikkan ke tikus (in vivo) untuk produksi MAB, atau dapat pula dibekukan untuk koleksi (stock cell culture).
dikerjakaan secara aseptis.
3. Sel limfosit B sebagai penghasil Ab tersebut kemudian diisolasi dari limpa (spleen) dipisahkan dari eritrosit dan cairan limpa dengan cara sentrifus (gradient centrfuge).
4. Sel penghasil Ab tersebut kemudian diisolasi dan selanjutnya dikawinkan dengan sel myeloma (sel kanker) dalam media PEG (polyethilene glycol) atau dapat juga dengan virus Sendai.
5. Sel hibrid yang diperoleh kemudian diseleksi dalam medium HAT (hypoxanthine aminopterin thimidin), oleh karena tidak semua sel hibrid yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yakni sel limfosit B dengan sel myeloma, akan tetapi dapat terjadi hibrid antara sel limfosit B dengan sel limfosit B, atau sel myeloma dengan sel myeloma.
6. Sel hibrid yang terseleksi kemudian diuji untuk mengetahui kemampuan menghasilkan Ab yang diharapkan, jika hasilnya pasti maka sel tersebut dikultur (cloning) kemudian dipropagasi pada kultur jaringan (bioreaktor) atau disuntikkan ke tikus (in vivo) untuk produksi MAb atau dapat pula dibekukan untuk koleksi.
7. Sel hibrid yang terseleksi kemudian diuji (assay) untuk mengetahui kemampuan menghasilkan Ab yang diharapkan denngan menggunakan kultur sel dan diuji antibodi.
8. Jika hasilnya pasti, maka sel tersebut kemudian dipropagasi dengan menggunakan kultur jaringan dalam skala besar (bioreaktor) untuk mendapatkan sel turunan yang sama persis dengan induknya (cloning), atau disuntikkan ke tikus (in vivo) untuk produksi MAB, atau dapat pula dibekukan untuk koleksi (stock cell culture).
Antibodi monoklonal secara immunokimia identik dan memiliki sifat: homogenitasnya tinggi, tidak ada Ab tidak spesifik, dan mudah dikarakterisasi (Boenisch, 1989: 4). Penemuan MAb dengan metode klonasi (clone), memiliki kelebihan antara lain: peka (sensitivitas), khas (spesifitas), dan akurat. Selain itu, MAb dapat pula digunakan untuk memberikan jasa pelayanan dalam berbagai hal seperti: diagnosis suatu penyakit dengan akurat, pencegahan dan pengobatan penyakit. Kontribusi MAb telah dapat dirasakan manfaatnya khususnya dalam dunia riset (research) seperti: enzymeimmunoassay (EIA), radioimmunoassay (RIA), dan immunositokimia (immunocytochemistry)
0 komentar